Oleh : Safinah Azmir, M.Pd
“Tugas kita bukanlah untuk berhasil, tugas kita adalah untuk mencoba karena didalam mencoba itulah kita menemukan kesempatan untuk berhasil.”
(Buya Hamka)
“Guruku, terimakasih atas segala didikan yang engkau berikan kepadaku”. Tanpamu aku tidak bisa berdiri di depan siswa-siswaku. Tanpamu aku tak kan mendapat panggilan istimewa dari peserta didikku. “Panggilan bu guru”, aku termotivasi belajar dan akhirnya menjadi seorang guru.
Mengajar dan mendidik suatu kalimat yang tak terpisahkan. Bagi guru mendidik siswa dari tak tahu menjadi tahu semua itu karena adanya proses pembelajaran. Guru adalah seorang yang merusaha untuk membentuk diri seseorang yang berilmu dan berakhlak. Upaya yang dilakukan seorang pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua itu tak lain berupaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan yang tak lepas dari kekuatan iman. Karena Iman tanpa ilmu bagaikan lentera ditangan bayi. Namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri.(Buya Hamka). Guru berupaya menjadikan peserta didik bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat.
Guru sebagai jembatan bagi peserta didik untuk memperoleh ilmu pengetahuan dunia dan akhirat. Sebagaimana tujuan pendidikan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Jadi inti dari proses pendidikan pada akhirnya bertujuan untuk membentuk peserta didik sebagai abdi Allah swt.
Sebagai seorang guru, pada zaman millenial. Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang sangat pesat, memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengakses informasi dan pendidikan, melebihi kemudahan yang diberikan guru dan kedua orang tuanya di rumah. Kemudahan ini sebagian bahkan banyak yang memberikan pengaruh buruk terhadap keseriusan peserta didik dalam belajar. Anak zaman millenial terlena dengan berbagai informasi yang mereka dapatkan. Sehingga sekarang banyak peserta didik yang sudah mulai terlena dengan informasi yang memberikan kesenangan tersendiri bagi mereka. Akibatnya, dapat dilihat peserta didik telah mengabaikan etika, sopan santun bahkan tindakan kesehariannya baik di rumah maupun di sekolah sudah melampaui batas kewajaran.
Situasi yang ditemui dilapangan, apakah kita salahkan media sosial? Apakah pantas kita salahkan kemajuan tekhnologi? Inilah tantangan bagi kita guru, sebagai seorang penyampai pendidikan dan pengajar peserta didik. Tantangan dalam menghadapi peserta didik yang sudah terlena dengan keasyikan dunia media sosial. Mereka sudah kecanduan. Begitu banyak menemukan peserta didik yang tidur di kelas, alasan sakit kepala dengan bermacam-macam alasannya dan akhirnya minta tidur di UKM (Usaha Kesehatan Madrasah). Habis istirahat, masuk kelas akan tercium aroma rokok. Peserta didik laki-laki sudah banyak yang kecanduan.Setelah di dekati peserta didik dan orang tuanya ternyata menyebabnya karena mereka sudah kecanduan gadget, android dan sejenisnya. Ada yang tidak punya android, tapi temannya punya atau bisa ke warnet dan sebagainya. Kalau sudah kecanduan berbagai cara akan mereka cari, agar bisa menggunakan gadget.
Siapa yang kita salahkan? Orang tua atau kita guru? Karakter peserta didik sudah teracuni. Tak bisa dipungkiri walaupun peran orang tua di rumah mendidik anaknya dengan baik tapi pengaruh media sosial jauh lebih kuat dari pengaruh apapun. Guru orang tua mari saling berkomunikasi. Kita tak bisa menyalahkan media sosial karena kemajuan teknologi adalah kemajuan di zaman millenial. Teknologi memang memberikan kemudahan tapi guru dan orang tua perannya sangat menentukan.
“Teknologi hanya alat. Dalam hal ini membuat siswa bekerja sama dan menjadikan mereka termotivasi, gurulah yang paling utama”.( Bill Gates)
Kemajuan teknologi yang memberikan dampak positif dan negatif dalam membentuk karakter dari peserta didik. Kebebasan dalam menggunakan teknologi, akan membentuk kepribadian si anak, namun kontrol publik tetap tak bisa diabaikan, terlebih kontrol dari orang tua tetap yang paling utama. Inilah dasar pembentukkan kepribadian si anak. Kita semua berharap media sosal merupakan alat yang dapat dimanfaatkan bagi anak-anak zaman millenial untuk kebaikan. Memberikan informasi-informasi yang menunjang kreativitas peserta didik, karena media sosial hanya pelengkat pada zaman millenial. Mari kita jadikan anak-anak millenial sebagai anak yang mempunyai moral dan integritas tinggi karena penggunaan media sosial yang baik dan bijak.
Aku, Guru penerus perjuangan guru-guruku.
Aku menjadi seperti sekarang karena guruku. Bersyukur telah dididik oleh guru-guru hebat. Mengajarkan ilmu agama , akhlak dan budi pekerti. Sebagai seorang guru aku ingin berbuat yang terbaik. Kondisi peserta didikku yang ku hadapi sekarang. Berbagai macam permasaalahan dengan berbagai latar belakang keluarganya. Aku akan terus berusaha memberikan binaan agar mereka menjadi pribadi yang baik, menjadi anak kebanggan orang tuanya yang dadanya telah terisi ilmu agama.
Disaat tahu mereka tidak salat shubuh. Sedih rasanya, kenapa mereka tidak salat? Padahal mereka dididik di Madrasah. Ingin memberikan pendekatan lebih khusus, mengajak mereka bercerita sambil memotivasinya, setiap pagi sebelum memulai pelajaran. Tapi, apa dikata mengingat materi yang harus diselesaikan. Akhirnya memberikan motivasi dan kontrol ibadahnya seadanya. Aku beri sangsi mereka yang tidak salat. Mereka harus salat dua rakaat, walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Sangsi ini bertujuan agar mereka terbiasa untuk mengerjakan kewajiban setelah bangun dari tidur dan dibukakan hati dan pikiran dalam menerima ilmu pengetahuan dari para guru.
Kondisi peserta didikku sebagian memprihatinkan, dengan banyak masalah yang dihadapinya. Faktor keluarga dan kecanduan gadget yang membuatnya terlena. Akhirnya sering tak masuk, malas datang ke sekolah dan cabut dijam-jam terakhir. Ini lah tantanganku. Apalagi untuk mahir dengan mata pelajaran yang kuberikan sangat tipis harapan. Mata pelajaran matematika. Kadang mereka hanya menerawang sewaktu belajar. Aku menyadari tidak bisa memaksa mereka untuk mahir matematika. Kecerdasan seseorang bukan karena pintar di matematika tapi kecerdasan seseorang adalah kemahiran pada bidang tertentu.
Kadang hati berlawanan dengan kenyataan, dimana aku sebagai guru dituntut untuk berhasil mendidik mereka dengan nilai matematika tertinggi pada ujian akhir. Padahal tak semua peserta didik berkemampuan baik dibidang matematika. Menyadari itu, aku berusaha untuk selalu menanamkan nilai-nilai agama yang wajib mereka kerjakan. Aku berkeyakinan, mereka pasti punya kelebihan. Walaupun mereka tak memperoleh nilai terbaik dalam mata pelajaran matematika, tapi mereka sudah dibekali dengan ajaran agama yang kuat serta akhlak, budi pekerti yang baik. Sebagaimana pesan dari KH. Maimun Zubair,.
“Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang Penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan kepada Allah. Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.”
“Yang paling hebat bagi seorang Guru adalah mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar.Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya, namun hadirkanlah gambaran bahwa diantara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga”.
Semoga, apa yang aku lakukan dengan semua rekan guru lainnya, bernilai ibadah dalam memajukan pendidikan.Menjadi investasi yang takkan pernah habis. Investasi yang terus mengalir pahalanya, yaitu ilmu yang bermanfaat. Guru adalah insan yang sangat dimuliakan dan diberikan kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt.
Aku akan selalu belajar Ikhlas dan Sabar dalam mendidik dan mengajar peserta didik. Ikhlas dan sabar akan menimbulkan rasa syukur, mengalir setiap saat. Aku akan terus belajar untuk menahan marah karena marah akan membuat diri tak terkontrol, Untuk menggapai kebahagiaan, kunci utamanya adalah ikhlas, sabar dan syukur.
Selamat Hari Guru. Terima kasih buat guru-guruku yang telah mendidik dan mengajarkanku ilmu pengetahuan. Selamat berjuang wahai para pahlawan ilmu. Selamat berjuang rekan-rekan guru. Mari kita cipatakan pendidikan yang berkarakter. “MENDIDIK DENGAN IKHLAS, MENGHARAPKAN RIDHA ALLAH, GURU MENJADI TELADAN PENERANG BANGSA” Guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan. Semoga dari tangan kita para guru akan lahir generasi tangguh, berilmu dan berakhlak. Amiin ya Robbal’alamiin.
0 Komentar